Hikikomori: Fenomena Isolasi Sosial di Jepang
Diperbarui / Terbit di Culture
Foto: Monkey Business Images/Shutterstock
Hikikomori, sebuah istilah yang berasal dari Jepang, menjadi semakin dikenal di seluruh dunia. Fenomena ini mencerminkan kecenderungan individu untuk menarik diri dari interaksi sosial dan menghabiskan waktu yang lama di dalam rumah.
Berikut ulasan tentang hikikomori, penyebabnya, serta kaitannya dengan gangguan kecemasan lainnya seperti agoraphobia.
Apa Itu Hikikomori?
Hikikomori merupakan kondisi psikologis di mana seseorang secara ekstrim mengasingkan diri dari lingkungan sosial dan berdiam diri di rumah, sering kali selama berbulan-bulan hingga bertahun-tahun.
Fenomena ini mulai muncul di Jepang pada tahun 1970-an, dan diakui oleh para peneliti sebagai suatu syndrome yang dapat mempengaruhi individu di usia remaja hingga dewasa.
Melansir dari Jurnal Frontiers in Psychiatry dalam artikel berjudul 'Internet Addiction, Hikikomori Syndrome, and the Prodromal Phase of Psychosis', para penderita hikikomori cenderung berkomunikasi sangat minim dengan orang lain, termasuk anggota keluarga mereka.
Sejarah Istilah Hikikomori
Istilah "hikikomori" pertama kali dicetuskan oleh seorang psikolog Jepang bernama Tamaki Saito. Dalam bukunya yang berjudul 'Social Withdrawal Adolescence Without End' yang diterbitkan pada tahun 1988, Saito mendefinisikan kondisi ini sebagai suatu bentuk pengasingan yang tidak diinginkan dalam interaksi sosial.
Penyebab Hikikomori
Hikikomori tidak muncul tanpa alasan. Setidaknya ada dua faktor utama yang dapat memicu seseorang mengalami kondisi ini:
1. Faktor Keluarga
Faktor keluarga sering kali menjadi pemicu utama dalam kasus hikikomori. Hubungan yang terlalu dekat atau tuntutan tinggi dari orang tua dapat mengakibatkan individu merasa tertekan.
Di Jepang, kultur sering kali memberikan ruang bagi penderita hikikomori untuk tetap menyendiri, dan stigma sosial ini membuat mereka terisolasi lebih dalam dari masyarakat.
Padahal, dukungan dari keluarga sangat penting untuk membantu mereka pulih dan kembali berinteraksi dengan lingkungan. Ironisnya, banyak keluarga merasa bahwa keberadaan hikikomori adalah aib yang harus ditutupi.
2. Faktor Individu
Faktor individu juga memainkan peran penting. Tekanan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari—baik itu dari sekolah, teman, atau pekerjaan—sering kali membuat seseorang mengalami depresi dan stres yang pada akhirnya mendorong mereka untuk menarik diri. Dalam kondisi penderitaan tersebut, hikikomori mungkin dianggap sebagai jalan keluar yang terbaik.
Hikikomori vs. Agoraphobia
Banyak yang bertanya-tanya apakah hikikomori sama dengan agoraphobia. Meskipun ada kesamaan, keduanya merupakan dua kondisi yang berbeda.
Menurut Mayo Clinic, agoraphobia adalah gangguan kecemasan di mana seseorang merasa takut atau menghindari situasi yang dapat memicu serangan panik, sedangkan hikikomori adalah kecenderungan untuk menjauhkan diri dari semua interaksi sosial.
Baik hikikomori maupun agoraphobia merupakan refleksi dari masalah kesehatan mental yang serius, namun hingga saat ini, isu kesehatan mental jarang dibahas di Jepang. Sehingga, banyak kasus hikikomori yang tidak teridentifikasi dan berpotensi mengancam kualitas hidup individu.
Hikikomori adalah fenomena yang mengingatkan kita akan pentingnya memahami dan memperhatikan kesehatan mental. Dengan dukungan yang tepat dari keluarga dan masyarakat, diharapkan individu yang mengalami kondisi ini dapat kembali berbaur dan mendapatkan kehidupan sosial yang sehat.
Peningkatan kesadaran tentang hikikomori juga dapat membantu mengurangi stigma serta mendorong lebih banyak orang untuk berbicara tentang tantangan yang mereka hadapi.