Kenali 5 Tanda-Tanda Kamu Sedang Mengalami Toxic Shame

Diperbarui   /   Terbit di Culture  

Toxic Shame
Foto: Unsplash.com/Kyle Broad

Rasa malu adalah emosi yang dialami oleh setiap orang dalam kehidupannya. Meskipun rasa malu adalah respons alami terhadap perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai dan norma sosial, ada kalanya rasa malu ini berkembang menjadi sesuatu yang lebih merusak, yaitu toxic shame atau rasa malu yang beracun.

Toxic shame dapat menghapus rasa percaya diri dan menyebabkan seseorang merasa tidak berharga. Berikut lima tanda bahwa kamu mungkin sedang mengalami toxic shame.

1. Kritik Diri yang Kronis

Salah satu tanda utama dari toxic shame adalah adanya suara hati yang selalu mencaci maki dan merendahkan diri kita. Banyak dari kita terjebak dalam dialog negatif, terus-menerus mengkritik penampilan, kemampuan, atau kelayakan kita.

Konselor self-help, Arlin Cuncic menjelaskan, "Dialog yang mencela diri sendiri ini memperkuat perasaan tidak berharga dan memicu siklus rasa malu." Ini menunjukkan betapa pentingnya mengubah cara kita berbicara kepada diri sendiri.

Menantang kepercayaan negatif dan menegaskan pada diri kita bahwa pemikiran tersebut bukanlah kebenaran dapat membantu memutus siklus ini.

2. Rasa Bersalah yang Berlebihan

Tanda lain dari toxic shame adalah rasa bersalah yang berlebihan. Kita mungkin merasa bersalah meskipun tidak melakukan kesalahan apapun. Rasa bersalah yang sehat memang merupakan bagian dari pertumbuhan, tetapi ketika ini menjadi beracun, kita terjebak dalam kondisi menghukum diri sendiri.

Ketika itu terjadi, "kita mungkin terus-menerus merasa bersalah atau yakin bahwa kita pada dasarnya jahat," kata para ahli. Untuk mengatasi ini, kita perlu menumbuhkan dialog penerimaan diri dan belajar memaafkan diri sendiri.

3. Perfeksionisme Beracun

Perfeksionisme beracun adalah dorongan untuk melakukan segala sesuatu dengan sempurna dan menetapkan ekspektasi yang tidak realistis. Psikoterapis Dr. Jacqueline Burnett-Brown berpendapat, "perilaku ini didasari rasa malu" dan berasal dari keyakinan bahwa kesempurnaan adalah syarat untuk diterima dan dicintai.

Perfeksionisme dapat mengakibatkan perasaan tidak mampu dan mengokohkan siklus rasa malu. Untuk melawan hal ini, Dr. Burnett-Brown menyarankan agar kita belajar untuk merasa nyaman dengan kesalahan dan menetapkan tujuan yang realistis untuk menjaga harga diri kita tetap utuh.

4. Ketertutupan Emosional

Toxic shame juga dapat menyebabkan ketertutupan emosional. Dr. Alex Klein, seorang psikolog klinis, mengatakan bahwa "rasa malu yang beracun sering kali menyebabkan rasa takut untuk menjadi rentan dan menunjukkan diri kita yang sebenarnya kepada orang lain."

Ketakutan untuk dinilai dan ditolak dapat mencegah kita dari menjalin hubungan yang dalam dan bermakna, meninggalkan kita merasa terisolasi. Mencari dukungan dan berbicara tentang rasa malu kita dapat mengurangi kekuatannya, serta memberikan kita wawasan tentang cara menyembuhkannya.

5. Kesulitan Menerima Pujian

Bagi banyak orang yang berjuang dengan toxic shame, menerima pujian dari orang lain bisa menjadi tantangan. Dr. Guy Winch, seorang psikolog, menjelaskan bahwa "menerima pujian dapat menimbulkan ketidaknyamanan jika bertentangan dengan sistem kepercayaan kita tentang diri sendiri."

Alih-alih menginternalisasi pujian dan masukan positif, kita mungkin mengabaikannya karena merasa tidak layak. Penolakan terhadap penguatan positif ini hanya memperkuat pandangan negatif tentang diri kita. Oleh karena itu, penting untuk belajar menerima umpan balik positif dan menggunakan itu sebagai pengingat betapa berharganya diri kita.


Toxic shame dapat menjadi kekuatan merusak yang memengaruhi berbagai aspek kehidupan kita. Namun, menyadari tanda-tanda toxic shame dan mengambil langkah untuk menghadapinya adalah langkah pertama menuju penyembuhan.

Mengatasi toxic shame memang bisa menjadi perjalanan yang sulit, tetapi sangatlah penting untuk kesejahteraan dan pertumbuhan pribadi kita.

Dengan kesadaran, dukungan, dan keberanian, kita dapat memutus siklus toxic shame dan menemukan kembali penghargaan diri yang sebenarnya.